Apa yang membuatku mau-maunya membeli buku waktu untuk tidak menikah adalah
judulnya dan juga cover yang eye catching. Seorang gadis berkuncir sedang
memejamkan mata disertai senyum tipis dibibirnya. Seolah-olah tengah menikmati
angin sepoi atau tengah mencoba untuk meresapi makna kehidupan. Entahlah. Ditambah
lagi pemilihan warna cover buku yang juga menarik dimata.
Kumpulan cerpen karya Amantia Junda ini menemaniku selama lebih kurang
seminggu. Berbeda dengan membaca novel yang bisa membuat kecanduan terus
menerus, membaca kumpulan cerpen membutuhkan jeda. Karna aku harus menetralisir
emosi yang masuk ke pikiran sebelum melanjutkan kisah selanjutnya.
Ada tiga cerpen favorit aku dalam buku ini. yaitu Prelude, Abha dan Planet
Tanpa Gravitasi.
Prelude menceritakan tentang tiga tokoh dari masing-masing persepsi. Dialog
favoritku adalah “aku hanya ingin mengobrol. Sejauh apa kami berubah.” Setelah Ina
mengajak mantannya bertemu.
Diseberang sana sang mantanpun dipenuhi berbagai persepsi. Memang dalam
sebuah hubungan, yang terpenting adalah komunikasi sehingga yang hadir bukanlah
asumsi. Tapi memang selalu ada hal yang membuat kita tertahan untuk sekedar
menyapa menanyakan kabar, dan itu adalah ego.
Lain halnya dengan Abha, yang menceritakan tentang seorang wanita yang
sukses dengan kehidupan yang nyaris sempurna dari kaca mata seorang yang
biasa-biasa saja. Sedari muda pun Abha sudah menjadi orang yang spesial bahkan
hingga ketika ia menua. Sempat tersandung kasus korupsi pun membuat orang tidak
percaya karena memang apa-apa saja yang dia lakukan sebelumnya adalah untuk
kebaikan banyak orang.
Diusia tuanya Asri jutru dekat dengan Abha, orang yang selalu ia hindari. Namun
siapa sangka dibalik kesempurnaan hidup Abha ia lebih memilih untuk mati bunuh diri.
Tentu kita tidak bisa mengatakan hidup seseorang benar-benar sempurna hanya
karena kita melihatnya sempurna. Dibalik itu pasti ada luka mendalam yang ia
tutup rapat hingga akhirnya luka itu menggerogoti jiwanya. Dan depresi tidak
mengenal si miskin atau yang hidupnya selalu kekurangan saja. Depresi menyerang
siapapun tanpa kenal status sosial.
Lalu yang terakhir aku suka planet tanpa gravitasi. Tempat dimana imajinasi
berkembang bebas. Seandainya memang ada obat pereda nyeri kalbu dan amputasi luka
batin. Tentu aku sudah mendaftarkan diri untuk ikut. Tapi bagaimanapun
canggihnya teknologi dimasa depan nanti intinya adalah penerimaan terhadap
luka-luka dimasa lalu.
Terima kasih Amantia Junda telah membuat aku berteman dengan
perempuan-perempuan yang luar biasa dalam cerpen ini.
Komentar
Posting Komentar