catatan seorang jurnalis: Kembali ke titik nol


Aku teringat tentang materi ospek saat aku masuk kuliah dulu. Agitator (kakak kelas kece yang doyan marah-marah) memberitau bahwa dalam dunia teater kita harus selalu siap kembali ke nol. Bagaimana? 
 
Dalam sebuah peran yang dimainkan kita tentu mencari tau referensi, observasi dan sebagainya agar kita bisa mendapatkan feel sebagai peran yang akan kita mainkan. Kurun waktu tiga bulan kita mungkin tidak akan mejadi diri kita yang biasanya, namun berusaha menjadi tokoh yang akan dimainkan.

Saat pementasan selesai, bagaimana dengan tokoh yang sudah melekat dalam diri kita? Tentu itu akan jadi arsip yang tersimpan dalam diri sebagai karakter yang suatu saat mungkin akan terpanggil lagi atau perlahan menghilang. Ya kita kembali lagi menjadi diri kita yang semula.

Saat mendapatka peran baru, apa yang dilakukan? Tentu kita akan memulainya lagi dari awal, mencari tau referensi, observasi dan sebagainya. Bukan melanjutkan peran yang sudah dimainkan.

Sebagai aktor, kita harusnya siap untuk terus kembali ke titik nol untuk bisa menjadi tokoh dalam setiap naskah yang dimainkan. Itu akan membuat kita naik tingkat. Bukan melanjutkan apa yang sudah terjadi, itu akan membuat kita berputar di lingkaran.

Kira- kira begitu yang sampaikan seniorku dulu di kampus. 

Saat sekarang jadi seorang jurnalis (kece), aku merasa harus siap dengan apa yang dibilangnya waktu itu, kembali ke titik nol. Kenapa? Karena setiap hari adalah awal yang baru, kejadian yang baru, barita yang baru. Aku pernah mendengar ciutan seseorang di twitter “koran kemarin adalah sampah hari ini”.

Kenapa kepikiran buat nulis ini karena beberapa hari lalu, pas hari puisi sedunia, berita ku masuk trending nasional. Wow. Pimpinan redaksi yang memberitau langsung di grup whatsapp yang berisi seluruh tim redaksi. Akupun kebanjiran ucapan selamat.

Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Tidak ada. Itu hanyalah euforia sesaat yang kemudian aku anggap sebagai pecutan semagat agar lebih kreatif lagi dalam membikin konten. Akupun berpikir kalo tujuanku bikin sesuatu demi bisa jadi trending, aku kehilangan rasa tulus dalam menulis. aku tidak punya ekspektasi apapun dalam menulis sebelumnya. Motivasiku hanyalah, aku ingin menulis, aku ingin tulisanku bermanfaat bagi dunia, aku ingin tulisanku jadi pengingat hal penting yang mungkin orang lupa.

Dan wala... tiba-tiba itu jadi trending nasional. 

Berita yang selanjutnya-selanjutnya tampak biasa-biasa saja. Aku bahkan tidak pernah masuk jajaran teratas berita yang jadi hits. Saat ini yang aku pikirkan adalah kuantitas. Kemudian aku merasa juga harus bisa membikin konten yang berkualitas.

Jadi seorang jurnalis tidak bisa hanya sekedar setor berita tanpa memikirkan dampak dari apa yang ditulis. Harus punya nilai, harus punya butterfly effect buat kehidupan.

Mau sampe kapan nulis hal yang ringan? Mau sampe kapan nulis hal yang receh?

Aku dilema antara “menulis untuk menebar manfaat” atau “menulis untuk jadi trending” atau aku bisa lakukan keduanya.

Komentar