“tugas akhir”




Saya adalah mahasiswa tingkat akhir yang lagi galau sama tugas akhir. Sebagai mahasiswa seni jurusan teater saya memilih untuk meneliti teater tutur dideng yang ada ditempat saya tinggal yaitu jambi. Tapi ga deket rumah juga. Kira-kira dari rumah harus menempuh perjalanan tujuh jam.
Nah sampailah saya di rumah sang seniman yang benama nek jariah. Dari jauh-jauh hari saya membayangkan bagaimana keadaan rumahnya yang mewah, anak nya yang banyak serta cucunya yang berisik. Bayangan itu muncul satu minggu lalu ketika saya mengunjungi rumah pak tabi’i yaitu anak tertua nek jariah. Beliau mengatakan bahwa nek jariah memperoleh gaji lima puluh juta dari pemerintah pertahun karena telah memperoleh gelar maestro seni tradisi. Melihat keadaan ekonomi pak tabi’i yang lumayan maka saya pun membayangkan hal serupa terhadap nek jariah. Tapi semua itu sirna semenjak pertama menginjakan kaki didepan rumahnya. Rumahnya mengingatkan saya pada film the way home. Seorang nenek yang duduk sendiri dalam rumah yang sederhana. Bedanya keadaan disini ramah. Saya datang bersama bapak. Keren kan udah mau tugas akhir masih dianter bapak kesana kemari. Dan belum ada yang menggantikan posisinya. Eits melebar gini. Balik lagi ke nenek. Nah kami disambut ramah dengan nenek itu padahal nenek itu belum kenal siapa kami. Setelah disiapin minum baru kami mengutarakan maksud. Kami dibolehkan tidur di rumahnya karena memang tidak ada penginapan di sana.
Saya pun langsung bertindak sebagai partisipan observer. Mengikuti setiap gerak gerik sang maestro ini, mewawancara dan mencatatnya. Intinya insyaallah deh sesi pencarian data kelar.
Nah ada satu hal yang jadi fokus saya kali ini adalah masyarakatnya. Disini masyarakatnya mayoritas berkebun. Pergi pagi pulang petang. Dan kegiatan kesenian pun dilakukan malam hari. Bapak saya bertemu beberpa teman lamanya yang dulu pernah tinggal di dekat rumah. Rata-rata mereka sudah memiliki cucu karna anak-anak mereka pada nikah muda. Saya heran sama mereka dan saya merasakan mereka heran sama saya. Saya liat mereka bahagia aja dengan anak yang masih kecil dan usia yang masih sangat muda. Mereka seumuran saya dan ada yag dibawah saya. Jadi gini yah saya tu kadang berfikir sepertinya menyenangkan hidup di sebuah desa yang jauh dari arus globalisasi. Menikah dengan orang yang sederhana, hidup sederhana, tanpa takut tertinggal zaman, dan ketakutan lain dengan dunia masa depan. Tapi kayaknya saya udah terlampau jauh hidup di dunia yang serba cepat perkembanganya. Itu mempengaruhi pola fikir saya. Hidup saya terlalu penuh ambisi, terlalu futuristik, tapi arahnya kurang jelas. Ah jadi nyambung kesini.
Yang jelas “tugas akhir” saya adalah hal yang pasti didepan mata.

Komentar