hai ini pertama kali aku posting dengan judul catatan jurnalis introvert. semoga ini judul yang baik untuk mengawali tulisan yang baik. ya semoga sih tulisan ini baik. huuh.
menjadi wartawan kuliner itu enak loh. bisa makan enak tiap minggu dan gratis. setiap aku liput kuliner orang-orang pasti bilang "eh enak betul kamu lis makan-makan mulu kerjaannya". iya enak makan-makan terus. soalnya aku pamer sih, hahaha. tiap ada makanan aku posting. jadilah orang-orang mengira bahwa kerjaanku enak.
hmm, aku akui emang enak bisa makan gratis, bisa tau seluk beluk dari sebuah cafe atau tempat makan lainnya, bisa membaca perkembangan trend kuliner di Jambi, bisa memetakan arah inovasi kuliner di Jambi, ciailah, sok banget yak...
sejujurnya emang iya, makin kesini makin banyak cafe-cafe baru yang bermunculan di Jambi dengan sasaran pasar anak-anak milenial yang doyan selfie di tempat-tempat hits kekinian. dulu mah waktu aku SMA mana ada cafe keren kayak sekarang. nongkrong juga paling di WTC. tapi sekarang udah banyak banget pilihan. sampe bingung juga kalo mau hang out milih tempat yang mana (yang murah).
nah perkembangan ini juga dipicu oleh brand-brand nasional yang mulai masuk pasaran kuliner Jambi yang sebenernya udah banyak ditiru mentah-mentah oleh beberapa cafe di Jambi. asli deh niru nya kebangetan bukan pake sistem ATM (amati tiru modifikasi) lagi.
banyak yang baru, banyak pula yang hilang. yup begitu lah siklus yang ada di Jambi. awal kemunculan jadi tempat hits yang ramai dikunjungi, kurun waktu tiga bulan mulai sepi karena ada yang lebih baru lagi secara konsep (makanan mah itu-itu aja), yang dulunya hits lama-lama berangsur hilang deh.
seolah ga pernah belajar dari yang sudah gagal, cafe-cafe baru ini terus bermunculan selayaknya jamur di musim hujan. menurutku salah satu penyebabnya adalah mereka ga ada inovasi, beberapa makanan itu ga layak konsumsi, dan mereka jelas meniru mentah-mentah. jujur untuk alasan ketiga ini aku malu sebagai orang Jambi. mbok ya disaring gitu loh.
tapi ada juga sih yang bertahan cukup lama tapi itu memang aku akui secara tempat dia punya kekhasan tersendiri, secara makanan enak dan mantap, secara harga pas di kantong wartawan kere(n) kayak aku.
hmm, mengenai rasa dari beberapa tempat yang pernah aku liput, aku sulit mendeskripsikan rasa karena aku ga paham bumbu. oh mamak gimana lah anakmu inih...
jadi yah ada gitu masakah yang khas banget, trus aku ga tau itu pake apa aja bahannya karena emang terasa asing dilidah yang tak bertulang ini. secara bentuk aku bisa kasih gambaran, secara tempat juga aku bisa kasih gamabaran, tapi secara rasa jujur aku masih kurang bisa mendeskripsikannya. bagaimana bisa aku mendeskripsikan rasa makanan, untuk bisa mendeskripsikan perasaanku saja aku tidak mampu. olalah...
aku juga merasa takut saat liputan. takuk kalo ternyata pemiliknya ga ramah, takut kalo mereka berfikir aku cuma cari makanan gratis doang, takut mereka berfikir aku ga kompeten buat nulis padahal emang iya, takut kalo pemilik cafe itu jadi suka sama aku (ngarep), dan ketakutan tentang hal bodoh lainnya.
tapi beberapa bulan inipun aku bisa menjalaninya dengan baik-baik saja walaupun dengan penuh ketakukan dan rasa cemas terhadap hal yang sebetulnya tidak perlu dicemaskan. hahaha
yah begitulah, aku bersyukur bisa makan enak tiap minggu karena jadi wartawan kuliner.
oh iya aku itu wartawan lifestyle, yang salah satunya membahas tentang kuliner. jadi bukan cuma kuliner yang aku bahas.
sekian dulu untuk hari ini. semoga bisa setiap hari nulis cerita yang gak penting kayak gini.
dari aku, wartawan yang selalu lapar...
Komentar
Posting Komentar