Catatan Jurnalis Magang Part II

(waktu diminta pimred buat liputan perjalanan. dari kiri : bang yoga, bang zul, yana, aku, bang niko, bang fadli)
setelah sebelumnya bercerita tentang cita-cita yang mau jadi spy agent, akhirnya terwujud dalam materi in depth reporting.

Aku dan teman-teman harus mencari obat keras yang dijual harus menggunakan resep dokter. Adalah asam mefenamat dan cyotec yang menjadi focus pencarian kami. Mencari asam mefnamat sih gampang tapi mencari cytotec? Ruar biassa rasannyah.
Kau tau cytotec itu apa? Itu adalah obat penggugur kandungan.

Pencarianku tidak menemukan apotek yang menjual cytotec. Tapi satu diantara temanku menemukan itu. Satu yang lainnya menemukan ketesse, obat yang lebih keras dibandingkan cytotec.

Setelah pencarian kami evaluasi. Dalam evaluasi penelusuran berlanjut pada instansi-instansi terkait seperti dinas kesehatan, bpom, dokter, dan apoteker. Penemuan satu cytotec ini terbilang mengejutkan tapi untuk asam mefenamat dan ketesse, itu adalah obat keras yang boleh diperjualbelikan tanpa resep dokter meskipun tertera dalam kemasan harus dengan resep dokter. Mengerti? Kalau tidak ya ulangi baca tiga kali.

Walhasil focus kami tertuju pada cytotec. Eh setelah di evaluasi justru obat ini pernah dimuat dalam berita tahun-tahun sebelumnya. Aahhh, pencarian kami sia-sia….

Tapi menurutku tidak ada yang sia-sia. Setidaknya aku tau sedikit tentang obat-obatan ini dan pengalaman tentang menjadi spy agent ini.

Beberapa hari kemudian aku mengkonsumsi satu asam mefenamat karena sakit kepala. Alhamdulillah, hilang, sakitnya, bukan kepalanya.

Materi-materi selanjutnya bisa teratasi dengan baik kecuali materi berita criminal.
Aku bersumpah, kayaknya aku ga cocok jadi wartawan criminal. Masalahnya aku diminta cari berita kecelakaan di rumah sakit. Walhasil harus melihat keadaan orang-orang sakit. Kau tau, aku bisa merasakan sakit ketika melihat mereka yang sakit. Aku merasa seperti aku yang berada diposisi mereka. Waktu bapak masuk rumah sakit aja aku kuat-kuatin buat nemenin. Meski aku ga pernah liat bapak harus berkali-kali di suntik jarum. Pas nganterin Yana berobat juga, aku sok kuat buat masuk lab tapi ga berani liat proses pengambilan darahnya.

Pas di salah satu rumah sakit petugasnya bilang, “masih muda udah jadi wartawan, hebat mbak”, katanya sok akrab.

Aku menanggapi sekedarnya sambil berkata dalam hati,”kalo tua saya jadi redaktur mas, mumpung muda ya jadi wartawan dulu”, hahaha aaminn jangan?

Dan hari ini adalah laporan perjalanan. Ini sih kayak yang biasa aku tulis. Tapi kali ini ada materinya dikit. Eh tapi ini loh satu diantara kekuranganku, aku itu suka menganggap enteng sesuatu hal ataupun orang lain. Aku sadar akan hal ini dan selalu berusaha untuk aku hilangkan. Belum tentu aku bisa melakukannya dan belum tentu seseorang itu biasa saja.

Aku jadi ingin menceritakan teman-teman seperjuanganku.

Yana, kadang aku panggil Yanto. Kesan pertama liat orang ini “ih kayaknya anaknya sombong deh”. Itu pertama kali aku liat dia di psikotes. Pas hari pertama kerja, bahkan aku berharap bukan dia yang keterima, tapi nyatanya dia adalah satu-satunya teman cewek di anggota baru ini.

Tapi kesininya jadi temen juga. Baik, cengeng, kotak tertawanya rusak, suka nempel ke aku kayak cicak. Risih, tapi ga enak bilangnya. Aku cuma berharap semoga aku nya ga bau badan.

Baru pertama kali dalam hidupnya jauh dari keluarga. Bahkan saat dia sakit, aku yang ngurusin. Tapi dianya bandel. Entah kenapa aku mau-maunya ngurusin tu orang. Mungkin karna aku pernah rasain apa yang dia rasain kali ya. Bahkan lebih parah. Aku pernah tau rasanya ngekos sendirian ga ada temen, sakit ga ada yang ngerawat, mau makan ga ada uang, hingga akhirnya semua bisa teratasi seiring banyaknya teman. Intinya mau berusaha dan terus mencoba.

Selanjutnya ada Fadli, biasa aku panggil bang Fadli, karna dia ini yang tertua bo. Mau nikah akhir tahun ini. kesan pertama liat ni orang kayaknya asik dan enak diajak ngobrol. Kebetulan dari tahap interview aku bareng dia. Eh ga taunya lolos bareng juga.

Bang Fadli ini badannya gempal, suka pake celana ketat, awal-awal rambutnya klimis, bajunya juga ketat, seolah kalo kancing baju itu bisa ngomong dia bakal bilang “sesak!!!”. Dan yang paling bikin aku penasaran, kayaknya dia itu pake lipglos deh. Soalnya bibirnya tampak basah terus. Over all, dia baik dan jadi ketua kelas kami.

Lalu ada Niko, biasa aku panggil bang Niko, awal liat dia tu kayak cowok culun gitu loh. Tapi ternyata ngga. Dia anak gahol banget bo. Dan yang paling asik dia tau banyak jenis-jenis music.

Nah Fadli dan Niko ini lah yang suka jadi peramai kelas. Plus Yana yang seolah jadi penonton bayaran. Apapun omongannya pasti dia ketawa.

Yoga, biasa aku panggil Yoga atau bang Yoga. Panggil abang karena dia seumuran bang Niko. Panggil Yoga karna kelakuannya ga kayak abang-abang. Situasional lah kalo panggilan bang Yoga ini. tapi dia baik, suka anterin aku pulang kalo kemaleman.

Terakhir ada Zul. Dia ini cuma beda setahun sama aku tapi kelakuannya kayak udah tua banget. Kadang bang Fadli aja sampe manggil “bang” ke dia saking “tua” nya pembawaanya.

Menurutku bang Zul ini suka baca Buya Hamka. Bahasanya kaku banget, kayak aku baca pujangga tahun 60an. Atau sebenerya dia ini hidup di zaman itu dan terkurung di es bertahun-tahun kemudian baru mencair karna pemanasan global akhir-akhir ini. entahlah.

Aku telah banyak belajar semenjak di Pare mengenai kesan pertama melihat seseorang. Kau tau, Pare itu tempat orang datang dan pergi dalam waktu singkat. Hanya dalam waktu dua minggu orang-orang akan cepat berganti lagi. Kau akan bosan dengan perkenalan dan perpisahan. Atau aku nya aja yang terlalu lama disana.

Dari sana aku dapat pelajaran bahwa menilai seseorang itu jangan hanya sekilas pandang. Kita harus kenal lebih jauh lagi, ngobrol lebih banyak lagi, hang out lebih lama lagi. Baru tau seseorang itu kayak apa. Pada dasarnya memang baik, tapi ada kecenderungan lainnya.

Semoga kami berenam ini bisa melaju terus hingga tahap akhir. Biar kita bikin Mas Pingsan bingung mau diapain karna saking berbakatnya kami. (Tsah, sambil kibas rambut gondrong)

Komentar